Wednesday, 3 January 2018

"The Rejected have defected."
  

Image result for accepted
Universitas selalu memiliki standar moral khusus bagi tiap individu yang ingin menjadi warganya, seperti keuangan atau kapabilitas. Dan, siapapun yang tidak bisa memenuhi salah satu dari ketentuan tadi, ataupun seluruhnya, menjadi layak untuk dilemparkan ke dalam keranjang sampah.

Sebagai lembaga yang sengaja dibuat untuk mengawetkan kekuasaan negara, maka universitas memiliki tugas mencetak produk-produk dengan spesialisasi tertentu. Sayangnya, tak seperti yang selama ini diumbar para pembual, sejak awal lulusan universitas dipersiapkan untuk menjadi roda penggerak mesin-mesin kapital.

Dalam film “Accepted”, kisah menyedihkan itu dituturkan. Ada sistem seleksi kampus yang turut menciptakan peserta didik mekanis, dengan cara pikir sepaten teks book, juga estafet tradisi kampus yang eksploitatif. Ada pula dosen-dosen anti kritik yang mengkapling kebebasan berpikir mahasiswanya.

Proses belajar bergerak jauh dari gambaran Plato tentang universitas pertama yang dibuat Socrates, di mana setiap pelajar memiliki kesempatan untuk berdialektika. Kampus hari ini adalah pabrik doktrinisasi konservatif, yang sengaja mendidik masyarakatnya untuk patuh, dan jauh dari gesekan ide tak berujung – di mana proses ilmu pengetahuan terbentuk. Universitas malah menjadi tempat mapan keseragaman.

Mark Perez, sang penulis cerita, berupaya menyajikan anti tesis praktik pendidikan yang mekanis dan alienatif. Progresifitas gagasan mengenai lembaga belajar alternatif muncul dengan dibentuknya universitas ilegal. Bartleby Gaines, karakter pecundang yang tak ditampung universitas, menjadi pelopornya. Universitas eksperimental itu menarik ribuan calon pelajar yang ditolak berbagai kampus.

Ada kesan bahwa wahana ilmu pengetahuan yang manusiawi harus membebaskan tiap peserta belajar untuk melakukan apa saja yang mereka suka, termasuk membuang sistem patron – baik gagasan maupun praktik belajar. Diyakini, eksistensi universitas tidak bergantung pada struktur akademik serta kurikulum: pelajar bisa sekaligus mengambil posisi sebagai dosen.

Selain itu bagian menarik dari wahana belajar versi “Accepted” adalah dikesampingkannya kekuatan teori. Tiap pelajar mengembangkan ilmu pengetahuan dari praktik harian. Secara implisit film ini berusaha menyampaikan pesan bahwa dinamika sosial tidak lahir dari teori, tapi sebaliknya, praktik harianlah yang berpotensi melahirkan definisi-definisi tertentu. Karena itu, tak ada kesimpulan yang bersifat tunggal dan universal.

Di South Harmon Institute of Technology (SHIT) – kampus ekperimental yang ilegal tadi – mahasiswa dan mahasiswinya bebas melakukan apapun yang mereka suka. Tak ada paksaan untuk mempelajari sesuatu yang tidak mereka senangi. Pelajar bebas merawat cita-cita dan menjadi diri sendiri: koki, mentalis, seniman, skater atau apapun itu.

Eksistensi SHIT merupakan deskripsi paling gurih tentang pendidikan yang tidak eksploitatif dan tidak menjadikan pelajar sebagai alien bagi sesama dan dirinya sendiri. Di kampus itu, tak ada paksaan bagi pelajar untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik yang tidak mereka senangi. Tak ada juga standart nilai yang tiap semester menjadi setan menakutkan. Kemampuan individu tak perlu distandarisasi.

Namun, seperti halnya banyak film Hollywood, landasan serta kritik film ini terbilang mentah. Beberapa hal terasa menggelikkan untuk diamati secara jeli. Misalkan saja, rencana membuat kampus alternatif yang bermula dari rasa kecewa orang tua yang tak bisa melihat anaknya duduk di bangku perguruan tinggi. Kesadaran yang muncul tidak beranjak dari pentingnya membentuk wahana pendidikan yang membebaskan pelajar untuk menjadi manusia seutuhnya, melainkan rasa malu karena tidak tertampung di universitas mapan di berbagai tempat.

Hingga di tengah cerita, Bartleby tak berani meyakinkan ribuan pelajar SHIT bahwa kampus yang digagasnya adalah kampus ilegal – yang tidak sengaja dibuat untuk melindungi nama baik orang tuanya. Ia memilih bungkam dan menyembunyikan status tersebut. Sehingga tiap pelajar di sana merasa telah menggabungkan diri dalam sebuah komunitas belajar legal, yang menggunakan pendekatan alternatif sebagai eksperimentasi.

Fenomena di atas menunjukkan betapa wahana belajar alternatif ini tidak dibuat untuk menegasikan sistem dominan yang selama ini eksis. Ia sekedar menjadi kampus buangan, tempat calon pelajar yang ditolak perguruan tinggi mapan. Ia tak ubahnya hadiah untuk membujuk seorang bocah yang merengek. Bukan upaya membebaskan ilmu pengetahuan dan membiarkannya dimiliki tiap orang tanpa diskriminasi, standarisasi ataupun doktrinisasi.

Di akhir cerita muncul hal yang jauh lebih menggelikkan. SHIT terancam ditutup. Para orang tua mengetahui bahwa universitas itu 'palsu'. Ribuan peserta belajar kocar-kacir. Mereka kelabakan ketika pendiri kampus ketahuan bohong. “Accepted” bukanlah benar-benar kisah wahana belajar yang lepas dari dominasi individu. Tanpa Bartleby banyak pelajar di situ merasa tidak berdaya. Ia jadi representasi dari ribuan kepala di SHIT.

Yang lebih menyedihkan lagi, film ini diakhiri dengan ending mengemis legalitas dari otoritas setempat. Para punggawa SHIT harus meletakkan nasib mereka di tangan Ohio State Board Of Education. Mereka mesti menyerahkan kebebasan bertindak pada keputusan lembaga negara yang otoritatif. SHIT yang menolak dominasi akhirnya menceburkan diri dalam hegemoni pendidikan yang selama ini ditentangnya.

Di satu sisi, “Accepted” menggambarkan akhir bahagia dengan senyum kemenangan atas ijin yang diterima. Namun, ini juga bagian paling menyedihkan, bahwa kebebasan berbagi ilmu pengetahuan harus memperoleh ijin otoritas negara.


Sumber : http://cetakanjaman.blogspot.co.id/2013/07/accepted-kritik-pendidikan-yang-tidak.html
January 03, 2018   Posted by Unknown in , with No comments

0 comments:

Post a Comment

Search