Masalah interaksi sosial antara beberapa
kelompok yang berbeda agama dan
pemahaman keagamaan adalah isu klasik.
Kendati demikian, isu ini masih tetap menarik
untuk dikaji dan dianalisa, apalagi dalam
konteks negara Indonesia yang majemuk dari
segi agama, bahasa, budaya dan adat-istiadat.
Hubungan antar penganut agama atau
pemahaman keagamaan yang berbeda di
Indonesia masih sering diwarnai hal-hal yang berbauh salah pemahaman, prasangka dan sikap permusuhan. Dalam
beberapa kasus, kesalahpahaman, prasangka dan sikap permusuhan
tersebut telah berkembang menjadi sesuatu yang merusak hubungan
antar kelompok etnis, dan penganut keyakinan dan agama di Indonesia.
Bahkan, akhir-akhir ini, kekerasan yang mengatasnamakan agama atau
keyakinan telah berkembang menjadi satu fenomena penting sekaligus
memperihatinkan di Indonesia belakangan ini sehingga negeri mayoritas
muslim ini acapkali dicap negatif oleh negara-negara Barat.
Kasus kerusuhan Situbondo, Jawa Timur pada tahun1996, disusul kemudian kasus Tasikmalaya dan selanjutnya kasus Kupang di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1998 merupakan bukti dari kondisi tersebut (Mulyadi, 2003) serta berbagai kasus mutakhir yang terjadi pada dekade awal abad ke-21. Berbagai peristiwa pengeboman, terutama pengeboman Bali, yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawannya dengan dalih jihad –yang saat ini telah dieksekusi mati oleh regu tembak— semakin membuka ruang prasangka, stereotipe dan stigma tertentu terhadap kaum muslim hingga diduga akan mempengaruhi hubungan dan kontak sosial antara umat Islam dan umat beragama lainnya. Terlepas dari berbagai peristiwa dan kejadian tersebut, sesungguhnya dinamika hubungan antarkelompok di manapun di dunia ini selalu memunculkan persoalan kesalahfahaman dan prasangka. Sebab, pada tingkat individu dan kelompok, kesalahafahaman berpeluang besar untuk muncul ke permukaan karena perbedaan kepentingan, kebutuhan, isi kognisi dan motivasi. Tulisan ini mencoba menguraikan pasang-surut dan dinamika hubungan antara etnis Sasak yang mayoritas menganut agama Islam dan etnis Bali yang menganut agama Hindu di Pulau Lombok pada umumnya dan di Kota Mataram secara khusus.

Lebih lengkapnya : http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34279/1/Dinamika%20hubungan%20Muslim-Hindu%20di%20Lombok.pdf
Kasus kerusuhan Situbondo, Jawa Timur pada tahun1996, disusul kemudian kasus Tasikmalaya dan selanjutnya kasus Kupang di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1998 merupakan bukti dari kondisi tersebut (Mulyadi, 2003) serta berbagai kasus mutakhir yang terjadi pada dekade awal abad ke-21. Berbagai peristiwa pengeboman, terutama pengeboman Bali, yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawannya dengan dalih jihad –yang saat ini telah dieksekusi mati oleh regu tembak— semakin membuka ruang prasangka, stereotipe dan stigma tertentu terhadap kaum muslim hingga diduga akan mempengaruhi hubungan dan kontak sosial antara umat Islam dan umat beragama lainnya. Terlepas dari berbagai peristiwa dan kejadian tersebut, sesungguhnya dinamika hubungan antarkelompok di manapun di dunia ini selalu memunculkan persoalan kesalahfahaman dan prasangka. Sebab, pada tingkat individu dan kelompok, kesalahafahaman berpeluang besar untuk muncul ke permukaan karena perbedaan kepentingan, kebutuhan, isi kognisi dan motivasi. Tulisan ini mencoba menguraikan pasang-surut dan dinamika hubungan antara etnis Sasak yang mayoritas menganut agama Islam dan etnis Bali yang menganut agama Hindu di Pulau Lombok pada umumnya dan di Kota Mataram secara khusus.

Lebih lengkapnya : http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34279/1/Dinamika%20hubungan%20Muslim-Hindu%20di%20Lombok.pdf
0 comments:
Post a Comment